Thursday, December 03, 2015

Cantiknya Wae Rebo, Kampung di Atas Awan

Delapan bulan lamanya saya mengidam-idamkan bisa pergi ke sebuah kampung adat yang dari fotonya aja udah eksotis. Kunjungan utama overland trip di Flores bagi saya adalah melihat kampung adat Wae Rebo secara nyata dan menambah pengetahuan serta pengalaman saya dengan sendirinya.

Wae Rebo adalah salah satu kampung adat paling hits yang juga disukai kalangan wisatawan mancanegara. Makanya waktu saya kesana mostly yang datang itu "bule-bule" dibanding kitorang sendiri. Wae Rebo ini letaknya  jauh banget, penuh perjuangan, nggak ada warung, dan pastinya nggak ada sinyal sedikitpun. Letak geografisnya sendiri di Desa Satar Lenda, Kabupaten Manggarai, masih di pulau Flores, Nusa Tenggara Timur.

Jalur Wae Rebo dari Labuan Bajo, yang memakan waktu sekitar 10 jam perjalanan.
Sumber: www.viewindonesia.com

Untuk sampai ke Wae Rebo dari Laboan Bajo diperlukan total 10 jam perjalanan darat yang berkelok-kelok menggunakan bus kecil (atau paling besar jenisnya disana), dan Otto Kol (transportasi semacam truk yang di modifikasi sebagai transportasi antar desa satu-satunya). Saya harus ke Cancar dulu untuk berganti transportasi yang menuju desa terakhir sebelum desa Wae Rebo, yaitu Desa Denge. Nunggunya lumayan lama! Soalnya jumlah Otto Kol yang ada tidak banyak dan adanya dua rute dari Cancar, yaitu menuju Desa Denge dan menuju Desa Wonka (kalau tidak salah). Jadi sewaktu Otto Kol-nya datang kita harus aktif bertanya "truk" ini mau kemana.


Menunggu Otto Kol yang menuju Desa Denge di Cancar, selama kurang lebih 1 jam yang tidak pasti kapan Otto Kol nya datang. Foto dua orang kawan saya, bersama Papa-yang-lupa-namanya mau ke Desa Dintor.
Cara naik Otto Kol. Manjat dari samping! Lokasi: Cancar

Setelah menikmati waktu perjalanan 6 jam dari Cancar yang tidak pernah tenang dan jelas nggak bisa tidur sama sekali (boro-boro), kami akhirnya tiba di Desa Denge. Desa yang memang sejatinya menjadi desa kedua terakhir dan sebagai tempat para pendatang untuk "menitipkan" tasnya sebelum mendaki ke Wae Rebo (disarankan menitipkan tas karena di Wae Rebo biasanya turis hanya menginap semalam dan jalur pendakiannya tidak ekstrim, hanya 3 jam).

Suasana Di Dalam Otto Kol, dilengkapi sound system yang sangat berisik sepanjang perjalanan. Mengapa berisik? Karena masyarakat NTT terkenal suka akan pesta yang diiringi musik yang sangat kencang dengan beat yang cukup cepat.
Melewati sepanjang garis pantai, karena lokasi yang dituju berada di bagian selatan pulau Flores
Sawah, bukit dan laut (sebelah kanan) bisa dilihat sekaligus. Menunjukkan betapa indahnya desa-desa disini
Bersantai sejenak sambil memandangi perjalanan yang gila ini. Kaki: Djoko
Tiba di Desa Denge. Rata-rata di setiap rumah memiliki alat tenun untuk menenun kain yang kemudian dijual kepada pendatang

Kebanyakan para pendatang sudah mengetahui bahwa ada satu masyarakat setempat yang menyewakan tempat penginapan bagi yang ingin menitipkan tasnya, namanya Papa Blasius. Kalau tidak salah sekitar Rp150.000,-/malam. Namun mungkin karena keberuntungan, kami tidak sengaja bertemu Papa Sam yang menawarkan rumahnya (tinggal bareng) kepada kami secara cuma-cuma alias GRATIS! Papa Sam membolehkan kami menitipkan keril dan barang-barang yang tidak perlu dibawa dan memberi kami kopi khas Wae Rebo serta boleh numpang nginap untuk pulang keesokan harinya :)

Setelah dua jam istirahat sebentar, peregangan kaki, makan ala kadarnya, menyeruput kopi khas Wae Rebo, dan re-packing, kami pun bersiap mendaki menuju Wae Rebo yang standar lama waktunya selama 4 jam trekking. Waktu pun sudah sangat sore sekali, kami harus cepat.

Saya, Rachel, dan Djoko trekking sore-malam tanpa guide! Padahal peraturan disana baiknya menggunakan guide demi keselamatan dan tentu ada bayarannya sebesar Rp100.000,- Tapi menurut saya jalurnya sangat jelas dan di tiap 75 meter ada plang yang menandakan berapa meter lagi kita akan sampai ke Wae Rebo. Jika trekking malam memang perlu sangat hati-hati melangkah dan bersikap, karena disebelah jalur langsung bertemu jurang tanpa ada pembatas yang jelas. Trekking tergila yang pernah saya lakukan dan nekat tapi beruntung juga sih kami tidak perlu mengeluarkan banyak pengeluaran hehehe. Tapi tetap, tidak disarankan untuk trekking malam.

Perjalanan awal. Fyi saat itu (Novemberr 2014) jalur menuju Wae Rebo diperbaharui. Mungkin bagi kamu yang akan ke Wae Rebo jalurnya sudah oke full dengan bebatuan sampai dengan Pos 1
Pos 1 saat pergi. Airnya kering
Lanjut! Hari sudah mulai gelap. It was really a private tracking
Pos 1 saat kami balik. Airnya cukup deras
Selfie di Pos 1 saat balik
Pos 2 Poco Roko. Disini baru ada signal itupun samar-samar. Biasanya masyarakat yang ingin mencari signal untuk berkomunikasi (walau masih sedikit) akan rela kesini. Jarak yang lumayan baik dari Desa Denge maupun dari desa Wae Rebo (foto diambil saat balik)
Lihat laut dari atas bukit (or gunung) rasanya ajib
Pos 3, pos terakhir. Saat tiba kondisinya sangat gelap dan nggak nyangka bakal se-amaze ini karena 7 Mbaru Niang udah kelihatan
Pos 3, dimana di pos ini terdapat rumah adat kecil dan kami harus mengetuk ketukan yang tersedia sebagai tanda ada pendatang baru
Dari jauh sudah terlihat aaaaaaah!
Mbaru Ngiang terlihat di keesokan paginya

Sedikit cerita saat kami tiba di Pos 3. Karena kami trekking malam yang cukup nekat demi alasan waktu, biaya, dan efisiensi, kami pun tiba pukul 8 malam. Itu juga lelet satu jam. Perjalanan lelah sudah pasti, tapi yang paling kerasa itu seramnya. Kanan hutan kiri jurang tanpa pembatas. Senter hanya satu dan hanya bermodalkan cahaya bulan.

Begitu tiba di pos 3 rasanya terharu karena sampai-juga-akhirnya-cyin. Tapi ada acara nyasar segala, dimana dari pos 3 seharusnya kami ambil jalur ke kanan untuk menuju ke Mbaru Ngiang (rumah-rumah adatnya), tapi karena sudah agak halu jadinya kami belok kiri. Nyasarlah sudah. Teriak-teriak "Permisi papa! Papa, papa! Tolong papa!" tapi nggak ada  yang dengar plus horor juga karena nggak sopan, takut dimakan hidup-hidup. Akhirnya balik lagi ke pos 3 pasrah menunggu masyarakat adat setempat lewat atau diketemukan secara kebetulan. Hopeless...

Setelah banyak berupaya memberi signal kepada warga adat, akirnya signal senter kami diterima. Mereka pun merespon dengan memberi signal kembali menggunakan senter dan obor mereka. Tersesat di hutan kemudian ditemukan oleh warga adat feels like....di pelem-pelem! Itupun tidak begitu lancar karena kami nunggu-nungguan hahaha. Tim saya maunya di jemput karena sudah pasrah, tim warga adat maunya kami segera kesana sendiri mengikuti cahaya. Akhirnya kami dijemput juga oleh warga adatnya hehehe. Mungkin bisa dibilang kami bertiga pendatang-yang-merepotkan-sepanjang-sejarah.

Akhirnya menuju rumah adatnya pun kami di kawal! Entah saking kerennya atau kami kurang ajar hahaha. Jangan salah, kami sudah minta maaf dan ketua adatnya pun memaklumi karena trekking malam hari sungguh menyesatkan penglihatan. Berjalan kaki melewati rumah-rumah adat yang sangat besar-besar walaupun tidak terlihat di malam hari, membuat hati saya terharu. Ini loh yang saya mau, tempat ini tujuan utama saya ke Flores.

Waktu sudah menunjukkan pukul 9 malam, setiap pendatang di hantarkan dulu ke Mbaru Ngiang (rumah adat) utama. Disana dijelaskan mengenai adat Wae Rebo, dan adat-adat apa saja yang diperbolehkan maupun larangan-larangannya selama berada di Desa Wae Rebo. Kami juga memberi semacam persembahan berbentuk uang sebagai salah satu syarat dan tanda terima kasih karena di terima di sana.

Setelah mengunjungi rumah adat utama, kami pun di antar ke salah satu rumah adat lainnya untuk beristirahat. Di dalamnya sengaja sudah disiapkan sekitar 40 kasur teplek, bantal, dan selimut untuk para pendatang. Di dalamnya pula sudah ada turis pendatang asal Swedia.

Lelah kerena estafet dari Laboan Bajo sambung ke Cancar, sambung ke Desa Denge, dan terakhir sambung ke Wae Rebo dengan trekking di malam hari, kami bertiga pun tumbang dan tepar hahaha.

Pagi hari, Wae Rebo rasanya dingiiiin sekali. Alhamdulillah saat itu hari cerah dan belum memasuki musim hujan. Gak perlu mandi karena bau kita sudah bau alam, kami langsung disuguhkan sarapan yang dibuatkan oleh para ibu Wae Rebo. Baiknyaa... Setelahnya kami menikmati kampung tercantik di atas awan tersebut, bermain dengan anak-anak Wae Rebo, bersosialisasi dengan para warga adat, dan menikmati kebebasan hidup hehehe.

Wae Rebo tidak terdapat sekolah. Maka dari itu anak-anak Wae Rebo harus menuntut ilmu di kampung terdekat yaitu desa Kombo (terletak sebelum Desa Denge jika mau ke Wae Rebo).


(to be continued)


I will never be completely at home again, because part of my heart will always be in Wae Rebo and Denge village,
Melinda Rachman.

-